Minggu, 14 Oktober 2012

Profil Fakultas Adab dan Ilmu Budaya

Fakultas Adab di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta resmi dibuka pada tanggal 12 Oktober 1961 berdasarkan Penetapan Menteri Agama No. 43 tanggal 9 Agustus 1960. Dari tahun 1961 hingga tahun 1970, jurusan yang dibuka hanya Jurusan Sastra Arab, dan pada tahun akademik 1970/1971 mulai dibuka Jurusan Sejarah dan Kebudayaan Islam.
Pada tahun 1974, berdasarkan hasil Rapat Kerja Pengembangan Kurikulum di Cipayung, Jurusan Sastra Arab diperluas menjadi Jurusan Bahasa dan Sastra Arab, sedangkan Jurusan Sejarah dan Kebudayaan Islam tetap tidak mengalami perubahan. Pada akhirnya fakultas Adab memiliki empat jurusan/program studi, yaitu:
  1. Bahasa dan Sastra Arab
  2. Sejarah dan Kebudayaan Islam
  3. Ilmu Perpustakaan dan Informasi
    • Ilmu Perpustakaan (S1)
    • Perpustakaan dan Informasi Islam (D3)
  4. “Membaca” sang Pembaca

    Posted by putubuku pada Maret 20, 2009
    Tradisi kepustakawanan dan ilmu perpustakaan seringkali memfokuskan diri pada buku dan bacaan, katimbang membaca dan pembacanya. Sampai sekarang fokus ini masih ada: alih-alih memahami pengguna perpustakaan, banyak pustakawan berkonsentrasi pada nilai-baik yang ada di buku; alih-alih menyediakan buku yang dibutuhkan, banyak pustakawan menitikberatkan kegiatan mereka pada “buku yang baik” atau “buku yang positif”. Kegiatan seleksi dan pengembangan koleksi seringkali berdasarkan “nilai baik” dengan asumsi bahwa buku yang baik akan menghasilkan masyarakat yang baik.
    Dalam tradisi literasi atau sastra (terutama di Amerika Serikat), pandangan seperti ini memang juga ada, didukung oleh berbagai model tentang text-active yang menjadi bagian dari teori new criticism -sebuah teori yang dibangun tahun 1940-an oleh John Crowe Ransom. Teori ini berasumsi bahwa teks (atau buku) dapat dilihat sebagai dirinya sendiri (self contained), terlepas dari respon pembaca, maksud penulis, atau konteks historis-kulturalnya. Para penganut new criticism melakukan close reading dan percaya bahwa struktur dan makna sebuah teks adalah satu kesatuan. Konsentrasi sepenuhnya dicurahkan pada mengutak-atik (atau “mengulik” istilah sekarangnya) teks itu sendiri. Pada tahun 1954, William K. Wimsatt dan Monroe Beardsley menegaskan bahwa dengan berkonsentrasi pada apa yang sudah tertera di atas kertas, maka maksud si penulisnya tidaklah terlalu relevan lagi. Bagi new criticism teks adalah segalanya. [Di blog ini close reading sudah pernah ditulis; silakan klik di sini]
    Teori new criticism pada gilirannya mendapat kritik lagi dari sebuah aliran baru, yaitu reader-response criticism. Aliran baru ini malah mengedepankan kenyataan bahwa seorang pembaca memiliki peran besar dalam menetapkan makna sebuah bacaan. Dengan kata lain, apa yang terkandung dalam sebuah bacaan mungkin saja tidak terdapat di dalam bacaan itu sendiri, melainkan di dalam konstruksi (construct) pembacanya. Pada tahun 1980-an, tiga buku penting muncul di kancah penelitian tentang bacaan dan membaca, yaitu:
    1. Fish, S. (1980). Is There a Text in This class? The Authority of Interpretive Communites, Cambridge : Harvard University Press.
    2. Suleiman, S.R. dan Crosman, I. (ed.) (1980). The Reader in the Text : Essays on Audience and Interpretation, Princeton : Princeton University Press.
    3. Tompkins, J.P. (ed.) (1980). Reader-response Criticism : from Normalism to Post-structuralism, London : John Hopkins University Press.
    Ketiga buku ini menegaskan pentingnya peran pembaca yang “membawa makna ke dalam tulisan”. Artinya, sebuah teks bukanlah satu-satunya sumber makna. Seorang pembaca menggunakan akal-budi dan pengalamannya ketika membaca sebuah teks. Apa yang ia maknai pada sebuah teks ikut ditentukan oleh pengalaman sebelumnya, persepsi, imajinasi, dan bahkan juga harapan-harapannya. Beberapa peneliti juga menekankan pada kemungkinan seorang pembaca “menemukan” maknanya sendiri, yang barangkali berbeda dari yang ditemukan orang lain, atau dari yang tertera di atas kertas. Toh, sejak lama kita sudah kenal frasa to read between the lines. Pada intinya, teori reader-response atau teori reception (karena berkonsentrasi pada pembaca sebagai “penerima” teks) mengangap bahwa teks tertulis harus dilihat secara dinamis, dan belum “jadi”. Setelah ada pembacanya, barulah teks itu membentuk makna.
    Apa pengaruh teori ini pada bidang perpustakaan? Jelas adalah pada pengalihan perhatian: dari teks di atas kertas (atau di dalam buku) ke manusia yang membacanya. Dalam penelitian yang berorientasi buku, kita tak terlalu peduli pada bagaimana buku itu sesungguhnya dibaca. Sebaliknya dalam penelitian berorientasi pada pembaca, kita mengutamakan pengkajian terhadap perilaku, situasi, kondisi, dan makna-makna yang dibangun oleh manusia-pembaca. Kajian ini dapat dilakukan terhadap individu-individu, maupun terhadap sekelompok orang dalam sebuah masyarakat.  Dengan kata lain, kita bermaksud “membaca” sang pembaca.
    Pendekatan kualitatif, khususnya etnografi, dapat digunakan untuk memahami bagaimana masyarakat mengenakan nilai atau makna kepada bacaan mereka. Buku yang amat menarik tentang penelitian etnografi ini adalah The Ethnography of Reading,  yang dieditori Jonathan Boyarin, terbitan University of California Press,  tahun 1993.
    Bacaan:
    Ross, C.S. (2005), “Reader response theory”, dalam Theories of Information Behavior, Fisher, K.E, Erdelez, S. dan McKechnie, L. (ed.),  Medford : Information Today, hal. 303 – 307.

    Perilaku Informasi di Tempat Kerja

    Posted by putubuku pada Maret 3, 2009
    Katriina Byström dan kawan-kawan mengusulkan sebuah teori tentang pencarian informasi di tempat kerja yang diberinya nama teori Information Activities in Work Tasks (IAWT), atau kalau diindonesiakan: Kegiatan Informasi dalam Tugas Kerja. Teori ini dibuat berdasarkan penelitian yang menggabungkan perspektif Ilmu Perpustakaan & Informasi dan Kajian Organisasi (Organizational Studies). Sebagaimana namanya, teori ini ingin menjelaskan fenomena di tempat kerja, khususnya ketika para pegawai mencari dan menggunakan informasi untuk keperluan menyelesaikan tugas (task). Fokus teori ini adalah pada upaya mengaitkan antara keragaman jenis tugas, kebutuhan informasi, dan upaya penemuan-kembali (information retrieval). Dengan demikian, teori ini berupaya lebih spesifik dibandingkan teori perilaku informasi umum yang   -misalnya-  diusung oleh Wilson.
    Dalam teori IAWT, sebuah task  atau tugas bukanlah hanya merupakan sesuatu yang eksternal (sesuatu yang diluar kendali seorang pekerja), dan juga bukan melulu internal (sesuatu yang ada di pikiran seorang pekerja), melainkan juga sebuah “konstruksi sosial” dalam konteks kegiatan yang sesungguhnya (real life). Dengan kata lain, sebuah tugas di tempat kerja (misalnya, tugas meliput berita di kantor berita, atau tugas menyerbu benteng musuh di kalangan tentara) merupakan sesuatu yang disadari dan dimaknai (perceived) dalam kaitannya dengan keadaan atau situasi tempat kerja. Seorang wartawan akan menyadari dan memaknai tugasnya secara berbeda dari seorang anggota pasukan buru-sergap, sebab ”lapangan” mereka berbeda.
    Selanjutnya, teori IAWT mengaitkan antara jenis informasi yang dicari dan ragam sumber informasi yang digunakan dalam bekerja. Di sini informasi dianggap sebagai sebuah “perangkat yang abstrak (tidak nyata)” untuk membantu seseorang menyelesaikan tugasnya. Selain itu, terjadi pula pergeseran fokus dari “menyelesaikan masalah” (problem solving) ke “menyelesaikan tugas” (task solving), sehingga sebuah “informasi tentang tugas” (task information) selalu merujuk ke sebuah tugas tertentu yang jelas batas-batasnya (misalnya meliput berita, menyerbu benteng musuh, membuat laporan penelitian). Informasi tentang tugas ini biasanya mengandung fakta (apa yang terjadi, siapa saja yang terlibat, kapan, di mana) selain juga mengandung keterangan tentang domain sebuah tugas, baik yang bersifat faktual (misalnya, peristiwa pelantikan Presiden Obama yang harus diliput, benteng di daerah pemukiman yang harus diserbu, lingkup penelitian yang harus dibuat) maupun yang bersifat interpretasi (apa makna Obama bagi hubungan AS – Indonesia, bagaimana mengurangi korban sipil dalam perang di dalam kota, sejauh mana penelitian bermafaat bagi masyarakat). Teori IAWT kemudian juga membedakan antara saluran dan sumber informasi yang digunakan di tempat kerja. Menurut Byström, sebuah “saluran” menjalankan fungsi menuntun seorang pekerja menuju “sumber” yang mengandung informasi tentang sebuah tugas.

    Byström dan kawan-kawan lebih jauh lagi mengaitkan jenis informasi, sumber informasi, dan tugas. Perhatian pertama diberikan pada kondisi tugas itu; seberapa rumitkah tugas itu bagi seseorang. Ini dinamakan task complexity.  Kemudian tingkat kerumitan ini dikaitkan dengan berbagai kemungkinan, yaitu:
  5. Jika seseorang merasa tak memerlukan informasi sewaktu bekerja, maka sebuah tugas dimaknai secara pasif berdasarkan dokumentasi yang ada. Tugas seperti ini biasanya adalah tugas-tugas rutin.
  6. Sumber-sumber informasi tentang pekerjaan seringkali adalah orang-orang yang terlibat dalam suatu tugas, selain dokumen-dokumen di kantor.
  7. Sebuah aktivitas (event) maupun sebuah kunjungan kerja juga dapat menjadi sumber informasi.
  8. Informasi tentang domain kerja biasanya diperoleh dari literatur, dari pertemuan dengan pakar, dan dari pertemuan atau rapat.
  9. Pakar dan pertemuan atau rapat seringkali merupakan sumber informasi yang paling sering digunakan untuk menyelesaikan tugas.
Ketika untuk sebuah tugas tertentu seseorang merasa memerlukan banyak jenis informasi, maka terjadi 3 kemungkinan:
  1. Ia menggunakan banyak sumber, tetapi mengurangi variasi jenis informasi. 
  2. Ia akan lebih banyak menggunakan rekan kerja sebagai sumber.
  3. Ia akan lebih sering mencari dokumen eksternal. 
Sementara itu kalau seseorang berpendapat bahwa tugas yang harus dikerjakannya semakin kompleks alias rumit, maka terjadi 3 kemungkinan:
  1. Ia akan cenderung ingin menggunakan jenis informasi yang beragam.
  2. Ia akan semakin ragu menetapkan apa sebenarnya yang ia inginkan.
  3. Para pakar di kantor akan menjadi pihak yang semakin dihandalkan.
Sampai di sini kita melihat bahwa teori IAWT sangatlah “biasa” sebab secara umum menjelaskan hal-hal yang sudah nampak wajar. Misalnya, adalah wajar jika dalam bekerja kita lebih mengandalkan teman sebagai sumber informasi daripada dokumen, sebab membaca dokumen tentu lebih merepotkan dibandingkan mendengarkan penjelasan seorang teman. Juga adalah wajar, jika kompleksitas pekerjaan meningkat maka jenis informasi yang dibutuhkan pun menjadi semakin beragam. Namun teori ini juga amat berguna karena membantu mengingatkan kita bahwa sebuah “tempat kerja” sebenarnya adalah juga sebuah “lapangan informasi”. Selama ini, kita selalu menghubungkan informasi dengan pengambilan keputusan atau penyelesaian masalah, bukan dengan penyelesaian kerja. Teori IAWT membantu kita mengalihkan perhatian pada hal-hal praktis yang terjadi di sebuah tempat kerja.
Sumber bacaan

Byström, K. (2002). “Information and information sources in tasks of varying complexity” dalam Journal of the American Society for Information Science and Technology, vol. 53, hal. 581 – 591.